Ads 468x60px

Rabu, 10 April 2013

Perpajakan dalam Pengadaan Langsung

Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mulai memperkenalkan istilah Pengadaan Langsung. Pengadaan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/seleksi/penunjukan langsung. Pengadaan langsung dilaksanakan berdasarkan harga yang berlaku di pasar kepada penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya.
Perpres 70 tahun 2012 tentang perubahan kedua Perpres 54 tahun 2010 memperjelas bahwa pemilihan penyedia dengan metode pengadaan langsung dilakukan sebagai berikut :
  1. Pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia untuk pengadaan barang/jasa lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta pengadaan pekerjaan konstruksi yang menggunakan kuitansi,
  2. Permintaan penawaran yang disertai dengan klarifikasi serta negosiasi teknis dan harga kepada penyedia untuk pengadaan langsung yang menggunakan SPK.
Adapun tanda bukti perjanjian terdiri atas :
  • Bukti pembelian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp 10 juta.
  • Kuitansi, digunakan untuk pengadaan barang/jasa yang nilainya sampai dengan Rp 50 juta.
  • SPK, digunakan untuk pengadaan barang/jasa lainnya/pekerjaan konstruksi yang nilainya sampai dengan Rp 200 juta dan untuk pekerjaan jasa konsultansi dengan nilai sampai dengan Rp 50 juta.
  • Surat Perjanjian, digunakan untuk pengadaan barang/jasa lainnya/pekerjaan konstruksi yang nilainya diatas Rp 200 juta dan untuk pekerjaan jasa konsultansi dengan nilai diatas Rp 50 juta.
Seperti dalam penjelasan diatas, pengadaan langsung dengan menggunakan bukti pembelian dan kuitansi dilakukan dengan cara pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia barang/jasa tanpa harus melakukan tahapan-tahapan proses pengadaan seperti mengundang penyedia memasukkan penawaran dan lain-lain. Pejabat pengadaan satuan kerja atau seseorang yang ditugaskan dapat langsung melakukan pembelian terkait barang langsung kepada penyedia barang seperti toko, atau unit usaha lainnya, tentunya dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengadaan.
Ketentuan Perpajakan Dalam Pengelolaan Keuangan
Dalam pengelolaan keuangan yang bersumber pada APBN dikenal 2 mekanisme pembayaran APBN, yaitu mekanisme langsung (LS) dan mekanisme Uang Persediaan (UP). Pembayaran dalam mekanisme LS dilakukan oleh Bendaharawan Umum Negara (BUN) atau Kuasa BUN (KPPN) kepada pihak ketiga/penyedia atas tagihan yang diajukan oleh satuan kerja, sedangkan pembayaran dalam mekanisme UP dilakukan oleh bendahara pengeluaran satker kepada pihak ketiga/penyedia atas tagihan yang diajukan PPK kepadanya.
Bendahara pengeluaran dapat melakukan pembayaran maksimal untuk pembayaran sampai dengan Rp 50 juta per kuitansi kepada setiap penyedia barang/jasa. Tidak tertutup kemungkinan dalam pembelian atas barang/jasa tersebut terkait dengan pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau pajak penghasilan (PPh) yang harus dikenakan dan disetor kepada negara. Penyedia atau pengusaha yang melaksanakan pekerjaan tersebut dapat berupa pengusaha kena pajak (PKP) atau pengusaha kecil yang bukan PKP.
Pada saat melakukan pembayaran dana APBN, seorang bendaharawan berperan sebagai wajib pungut pajak atas seluruh transaksi yang dikenakan pajak dan wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang dipungutnya.
Dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM disebutkan bahwa pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. Selain itu diatur dalam Keppres Nomor 42 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dalam pasal 20 ayat (3) disebutkan bahwa setiap bendaharawan, instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan badan-badan lain, sebagai wajib pungut pajak.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan bendaharawan pemerintah dan Kuasa BUN (KPPN) untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003. Pemungutan PPN dimaksud diatas dilakukan pada saat pembayaran atas penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak oleh Pengusaha Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah. Kewenangan memungut dan menyetorkan PPN atas penyerahan barang/jasa kena pajak tersebut yang dimiliki Bendaharawan Pemerintah lebih diunggulkan dari pada kewenangan sebagai wajib pungut yang dimiliki oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut. Kewajiban untuk melakukan pemungutan PPN tersebut diatas oleh bendaharawan pemerintah dalam hal pembayaran yang jumlahnya diatas Rp 1 juta dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah.
Kendala di Lapangan
Kegiatan pembelian barang/jasa kena pajak seperti pembelian ATK dan keperluan perkantoran lainnya atau belanja modal lainnya pada prakteknya dilakukan oleh satuan kerja kepada penyedia yang merupakan Pengusaha Kena Pajak seperti perusahaan retail besar Carrefour, Hypermart, Indomaret dan sejenisnya, serta penyedia bukan PKP seperti toko atau unit usaha kecil lainnya.
Kedua jenis penyedia tersebut pada kenyataannya sangat sulit untuk dipungut PPN. Terutama penyedia PKP yang secara sistem sudah mengenakan PPN pada setiap harga barang. Penyedia PKP, dalam hal pembayaran/pembelian dilakukan oleh bendaharawan pemerintah karena termasuk pembelian dalam jumlah kecil menolak untuk dipungut PPN oleh bendaharawan.
Sementara bendahara pengeluaran sebagaimana diamanatkan dalam KMK 563/KMK.03/2003 diwajibkan untuk melakukan pemungutan dan menyetorkan PPN atas pembayaran terhadap penyerahan barang/jasa kena pajak. Selain itu Kuasa BUN (KPPN) wajib menolak permintaan pembayaran berikutnya yang diajukan bendaharawan pemerintah baik menggunakan mekanisme LS maupun mekanisme UP apabila bendahara pengeluaran tidak melakukan ketentuan sebagaimana diamanatkan dalam peraturan tersebut.(Ketentuan dalam KMK 563/2003 terkait peran KPPN selaku kuasa BUN (cetak miring tebal) sudah tidak diberlakukan dalam pelaksanaan pembayaran APBN. Sejalan dengan pelimpahan kewenangan administratife kepada K/L, KPPN selaku kuasa BUN tidak lagi melakukan pengujian material terhadap pemungutan pajak yang dilakukan bendahara satker)
Usulan perubahan regulasi

Melihat kondisi tersebut, kewajiban bendahara pemerintah untuk melakukan pemungutan PPN mungkin perlu ditinjau ulang. Kewajiban tersebut bisa saja diterapkan untuk pembayaran/pembelian kepada PKP rekanan pemerintah dengan nilai diatas Rp 50 juta. Sedangkan kewajiban memungut PPN untuk nilai sampai dengan Rp 50 juta dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan barang/jasa tersebut.

Bila hal tersebut dilakukan, negara tetap tidak akan kehilangan potensi penerimaan pajak dari PPN, karena pengusaha kena pajak tersebut memiliki kewajiban yang sama seperti bendaharawan untuk menyetor dan melaporkannya kepada negara melalui mekanisme penyampaian SPT tahunan dan SPT masa.
Untuk memberikan dampak positif bagi terlaksana pengelolaan keuangan negara melalui peningkatan penyerapan anggaran dimana telah diatur beberapa kemudahan dalam mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah yang diatur dalam perpres 70 tahun 2012, serta adanya pelimpahan kewenangan administratif beheer sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dari Kementeian Keuangan ke Kementerian Negara/Lembaga dikaitkan dengan kewajiban KPPN melakukan pengujian atas pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendaharawan pemerintah, maka dipandang perlu bahwa peraturan KMK Nomor 563/KMK.03/2003 terkait kewajiban bendaharawan sebagai wajib pungut ditinjaua kembali untuk dilakukan perubahan. Sehingga kewajiban bendahara untuk melakukan pemungutan atas PPN terkait dengan pengadaan langsung beralih kepada PKP rekanan pemerintah.

Artikel Terkait

29 komentar:

  1. Metode pembelian langsung untuk pengadaan barang sampai dengan nilai 10,000,000;cukup dengan bukti pembelian yang dikeluarkan oleh Penyedia (Toko) seperti tulisan tersebut diatas... dari pemahaman saya atas artikel tersebut ada beberapa hal yang saya ingin saya tanyakan sebagai berikut :
    1. pada satker kami ada Pembelian ATK dengan nilai Pagu Rp. 10 Juta, apakah kegiatan tersebut dapat kami lakukan dengan pembelian langsung pada Toko penyedia?
    2. Dokumen apa saja yang harus kami lengkapi untuk SPJ pada satker kami dan lampiran yang harus kami lampirkan untuk pencairan SP2D di KPPN?
    Demikian mohon bantuannya salam sukses
    Hudori

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pak Hudori, pembelian ATK dengan nilai Rp 10 juta, berdasarkan Perpres 70/2012 dan juknisnya (Perka LKPP 14/2012) dapat dilakukan dengan pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia untuk pengadaan barang/jasa lainnya.

      Definisi penyedia tidaklah harus berbentuk badan usaha namun dapat orang perorangan. Toko (dengan omzet s.d 300juta/tahun) menurut UU 20/2008 ttg UMKM dan permendag 36/2007 ttg penerbitan SIUP dapat dikategorikan kedalam usaha mikro yang tidak diwajibkan memiliki SIUP. Dengan demikian, pembelian ATK tersebut dapat dilakukan kepada toko.

      Adapun bukti-bukti pengeluaran untuk pembelian diatas dapat berbentuk kuitansi/bukti pembelian dan nota/bukti penerimaan barang/jasa (tentunya memperhatikan pajak yang harus dipungut/disetor).

      untuk keprluan pencairan SP2D yang diajukan kepada KPPN, berdasarkan PMK 190/2012, semua bukti-bukti pengeluaran tersebut disimpan dan telah diuji oleh PP-SPM ditempat Bapak. Dokumen yang diajukan dalam rangka pengajuan SPM GU tersebut berupa SPM-GU beserta ADK SPMnya saja. sedangkan untuk pengajuan SPM-LS berupa SPM-LS dan ADK SPM, serta SSP bila ada potongan pajak terutang atas transaksi tersebut.

      Hapus
  2. Salam
    Di satker km,pembelian barang dg nominal mulai Rp.10jt ke atas hrs dilengkapi SPK sederhana (p'mintaan penawaran,penawaran rekanan,nego,SPK,BA serah terima,SPBy).Apakah mnrt ketentuan demikian,mengingat di Keppres 70,dikatakan pengadaan barang sampai dg 50jt ckp dg kuitansi?Mohon p'jelasannya.Trims

    BalasHapus
  3. Seperti yang Ibu sampaikan, pembelian barang dengan nominal diatas Rp 10 juta keatas sampai dengan Rp 50 juta berdasarkan Perpres 70/2012 dan juknisnya (Perka LKPP 14/2012) dapat menggunakan Kuitansi. Hal tersebut dilakukan dengan pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia untuk pengadaan barang/jasa lainnya.

    Prosesnya adalah pejabat pengadaan atau seseorang yang ditunjuk memesan barang/mendatangi langsung ke penyedia, melakukan transaksi, menerima barang, melakukan pembayaran, menerima bukti perjanjian (kuitansi).

    dalam hal bukti perjanjian terkait pengadaan barang tersebut tidak dapat menggambarkan secara jelas perikatan antara kedua belah pihak (PPK dan penyedia) maka dapat digunakan SPK. pengadaan langsung dengan bukti perjanjian SPK tentunya dilakukan dengan mengundang penyedia untuk memasukkan penawaran (pejabat pengadaan menyampaikan dokumen pengadaan yang terkandung spesifikasi teknis dan total HPS didalamnya), kemudian pejabat pengadaan (PP) melakukan evaluasi serta negosiasi. selanjutnya PP membuat BAHPL untuk disampaikan kepada PPK dan PPK akan menandatangani SPK bersama penyedia.

    Dengan demikian, bila satker melakukan pengadaan barang dengan nilai s.d Rp 50 juta, maka cukup dilakukan dengan melakukan pembelian langsung dengan mendatangi penyedia, kemudian bukti-bukti pengeluarannya dapat berupa Kuitansi dan bukti/nota penerimaan barang. sehingga tidak diperlukan SPK, permintaan penawaran, penawaran dari penyedia, dan seterusnya....).

    Manfaatkanlah kemudahan yang diberikan oleh ketentuan perundangan-undangan yang ada (perpres 70/2012 dan PMK 190/2012) namun tetap menjaga akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.

    BalasHapus
  4. Terima kasih atas penjelasannya.
    Apakah Bpk bisa memberikan penjelasan lbh lanjut justifikasi apa yang bisa diterapkan untuk pengadaan barang denan nominal s.d Rp.50jt yang tidak perlu SPK dan yang perlu ada SPK, spy jelas dalam penerapan di satker kami?
    Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus
  5. Bagaimana dengan kuitansi tagihan pekerjaan jasa penerbitan/ perpanjangan izin operasional instalasi penyalur petir dan genset senilai Rp 9,9 juta,ketika dilakukan verifikasi dan diminta kelengkapan seperti faktur pajak standar dan copy NPWP tidak dapat memenuhi karena ternyata perusahaan pelaksana pekerjaan tersebut PKP dan NPWP nya telah dicabut karena tidak pernah membayar pajak? bahkan dia mengajukan tagihan dengan bendera lain, sementara pada sertifikat jelas-jelas tercantum nama perusahaan pelaksana...mohon masukan. Karena kami tidak berani membayar perusahaan tersebut. Terima kasih.

    BalasHapus
  6. saya mau tanya kaitannya dengan pengadaan atk senilai 45jt. dalam aturannya, boleh menggunakan kuitansi untuk mempermudah pengadaan.
    yang ingin saya tanyakan,

    1. Bagaiana penghitungan PPN nya? apakah sudah termasuk ke dalam nominal 45jt tersebut? (karena barang yang dijual di toko kan sudah termasuk PPN).

    2. Untuk pengadaan senilai 45jt tersebut akan dilakukan berbagai toko, karena toko yang dirujuk kurang lengkap. bagaimana perlakuannya?

    terima kasih

    BalasHapus
  7. Terima kasih pak Terry,

    1. Nilai kuitansi/SPK/kontrak harus sudah termasuk PPN. semua alokasi dana dalam DIPA sudah memuat PPN pada harga satuannya. Jadi bila bapak melakukan perjanjian/pembelian ATK dengan nilai Rp 45 juta harus sudah termasuk PPN. Dengan demikian untuk menghitung pajaknya, mesti dicari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) terlebih dahulu sbb : DPP = NK (nilai Kuitansi) x 10/11 = 40,909 juta. PPN = 10% x DPP, PPh pasl 22 = 1,5% x DPP.

    2. pengadaan langsung tidak dilarang memecah paket. pembelian ke toko (bukan ke CV) dapat dibenarkan, karena toko merupakan usaha perorangan/mikro yang berdasarkan UU UMKM tidak wajib memiliki akte pendirian perusahaan sehingga dimungkinkan tidak memiliki SIUP. Dengan demikian pembelian jenis barang yang berbeda dapat dibeli pada toko yang berbeda, dimana bentuk perikatannya bisa berupa kuitansi atau nota pembelian.

    demikian pak

    BalasHapus
  8. Saya mau tanya pak..
    Bagaimana pembayaran pajak untuk pembelian barang senilai 9 juta dengan menggunakan uang persediaan (UP).
    Apakah bendahara yang menyetorkan pajak nya sebagai pemungut pajak, atau PKP yang harus menyetorkan pajak nya itu..?
    Terima kasih pak...
    Mohon bimbingannya.

    BalasHapus
  9. Bendahara Pemerintah dan Penyedia PKP keduanya memiliki tugas memungut dan memotong pajak. Namun kewajiban bendahara pengeluaran lebih diunggulkan dibandingkan penyedia PKP. Dengan demikian untuk transaksi pembayaran atas pengeluaran barang/jasa yang terutang pajak pembelian barang (seperti komputer) senilai 9 juta dengan UP, maka terutang PPN dan PPh pasal 22. Bendahara memungut pajak yang terutang, menyetorkannya ke Kas Negara dengan SSP dimana menggunakan NPWP penyedia PKP dan ditandatngani bendahara. selanjutnya SSP lembar 1 tersebut disampaikan kepada rekanan (penyedia PKP) sebagai bahan menyusun SPT masa.

    BalasHapus
  10. Pak mohon bantuannya sebenarnya untuk kwitansi nya nilai yang harus dicantumkan nilai total sesuai dengan invoice atau hanya nilai pembayaran yang kita terima (nilai yang sudah di potong PPh22 dan tidak termasuk PPN) terima kasih

    BalasHapus
  11. Nilai pada Kuitansi sama dengan nilai pada Kontrak/SPK (karena kuitansi merupakan bukti perjanjian seperti halnya SPK/Kontrak namun nilainya kecil.

    seperti halnya SPK/Kontrak, nilai kuitansi harus sudah termasuk PPN. Disamping itu dana yang teralokasi dalam DIPA/DPA (dokumen pelaksanaan anggaran) juga sudah memuat PPN. Hal ini karena PPN dibebankan kepada pembeli terakhir (pemerintah dalam ha belanja satker/SKPD). Nilai kuitansi tidak boleh mengandung unsur PPh, karena PPh dipungut atas penghasilan yang diterima penyedia/pengusaha.

    bila invoice yang menyebutkan harga barang dimana harga barang tersebut sudah termasuk PPN, maka nilai kuitansi sama dengan nilai total invoice.

    BalasHapus
  12. saya mau Tanya Pak..
    Untuk Biaya Akomodasi dan Konsumsi Rapat di Hotel fullboard selama 2 hari... apakah cukup dengan kuitansi saja yang nilainya sebesar 36 juta... apakah perlu menggunakan SPK, bila hanya menggunakan kwitansi saja... apakah tidak akan menjadi bahan temuan pemeriksaan karena tidak ada penjelasan berapa besar baiay fullboard per orang per hari nya? untuk biaya akomodasi dan Konsumsi tersebut pajak apakah yang di kenakan PPN +PPH22 atau PPH 23 ?

    BalasHapus
  13. Pak Iqbal, pengadaan dengan nilai diatas Rp 10 juta (yang tidak menggunakan bukti pembelian) maka PPK perlu menetapkan HPS. selanjutnya adalah tugas PPK menentukan spek. HPS dan spek tersebut dapat digunakan sebagai acuan bagi pejabat pengadaan untuk pelaksanaan pengadaan jasa lainnya yaitu akomodasi dan konsumsi rapat di hotel (paket fullboard) tentunya mempertimbangkan standar biaya pada PMK dan alokasi dana yang tertuang dalam DIPA.

    Perpres 70 daam pasal 55 memberikan kemudahan terkait bentuk perjanjian. kemudahan dari sisi regulasi keuangan juga bisa kita temukan dalam PMK 190/2012 pada pasal 51. bila bukti perjanjian berupa kuitansi dapat menggambarkan secara jelas hubungan 2 pihak, barang yang dikerjakan (sesuai spek teknis) maka hal itu dapat digunakan (jadi tidak perlu takut dipermasalahkan pemeriksa). bila bukti berupa kuitansi tidak dapat menggambarkan hubungan secara jelas maka bukti perjanjian dapat berupa SPK.

    Terkait perpajakan, kegiatan paket fulboard merupakan jasa perhotelan, didalam PP 144 tahun 2000, termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN. dan dalam UU 28/2009 jasa perhotelan merupakan pajak daerah. PPN dan PPh adalah pajak pusat, jadi dengan demikian pengadaan akomodasi aket fullboard pada hotel tidak dikenakan PPN dan PPh.

    Demikian pendapat saya pak...

    BalasHapus
  14. Nanya lagi Nih... untuk Biaya Akomodasi dan Konsumsi Rapat di hotel Fullboard bila Menggunakan SPK apakah melalui proses pengadaan langsung atau penunjukkan langsung?, apa perbedaan penunjukkan langsung dan pengadaan langsung? untuk kegiatan diatas menggunakan pengadaan langsung apa penunjukkan langsung? adakah standart dokumen kontraknya? terima kasih

    BalasHapus
  15. Pak iqbal, metode penunjukan langsung utk pengadaan barang/jasa lainnya/konstruksi harus memenuhi kriteria sebagaimana pasal 38 dan 44 jadi tidak dilihat dari perkiraan nilai pengadaannya sehingga bisa dilaksanakan oleh pejabat pengadaan atau pokja ULP (tergantung nilainya). sedangkan pengadaan langsung memenuhi kriteria pasal 39 dengan nilai s.d 200 juta utk Barang/jasa lainnya/konstruksi dan s.d 50 juta untuk pekerjaan konsultansi dan dilaksanakan oleh 1 pejabat pengadaan. disamping itu tahapan pemilihannya berbeda, pengadaan langsung lebih sederhana dibandingkan penunjukan langsung.

    penunjukan langsung menggunakan prakualiasi (bukan untuk darurat) namun dalam pengadaan langsung dapat tidak dilakukan tahapan kualifikasi seperti metode pemilihan lainnya.

    Paket meeting fullboard merupakan pengadaan yang dapat memenuhi kriteria penunjukan langsung (pasal 38), namun bila perkiraan nilai pengadaan menggunakan SPK (s.d 200 juta) maka dapat digunakan metode pemilihan pengadaan langsung. sehingga pilihannya bisa 2 penunjukan langsung atau pengadaan langsung tergantung dari Pejabat pengadaan memilih metode pemilihan yang termudah, (efektif dan efisiennya).

    Untuk keduanya ada standar dokumen pengadaan untuk pengadaan langsung dan penunjukan langsungnya pak.

    BalasHapus
  16. Saya mau tanya pak..
    apakah bukti pembelian barang dengan nilai s/d 10 jt, berupa nota pembelian harus menggunakan materai?

    BalasHapus
  17. Pak Arselan, silahkan baca pendapat saya pada tulisan pada blog ini dengan judul "bukti pengeluaran tak harus kuitansi.

    BalasHapus
  18. mohon penjelasan pak. didaerah kami saat ini dari bagian keuangan mengharuskan pembelian barang dalam hal ini contohnya pembelian atk dengan nilai 8 juta pun harus melalui pejabat pengadaan. sedangkan sepengetahuan saya di perpres 54 dan perubahannya tidak mengatur masalh ini. mohon penjelasannya pak. terimakasih.

    BalasHapus
  19. Terkait Proses pengadaan bisa dirujuk kepada Perpres 54/2010 beserta perubahannya (perubahan terakhir perpres 70/2012) beserta Perka LKPP nomor 14/2012 ttg petunjuk teknis Perpres 70/2012.

    Pejabat pengadaan ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan langsung dengan nilai sampai dengan Rp 200 juta utk pengadaan barang/jasa lainnya/konstruksi dan sampai dengan Rp 50 juta untuk pekerjaan konsultansi.

    Dalam pasal 57 (5) perpres 70, pengadaan langsung untuk barang dilakukan dengan 2 cara : 1. pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia s.d Rp 50 juta, 2. permintaan penawaran diserta klarifikasi & negosiasi teknis dan harga.

    Pada bab II lamiran Perka LKPP Nomor 14/2012 ttg Pemilihan Penyedia barang, bahwa utk proses pengadaan langsung pada cara 1 (s.d 50 juta) diatas, pejabat pengadaan langsung dapat memerintahkan seseorang untuk melakukan proses pengadaan langsung.

    Dengan demikian, pembelian ATK dengan nilai Rp 8 juta dapat dilakukan oleh seseorang yang bukan pejabat pengadaan, namun pejabat pengadaan tetap bertanggung jawab atas proses pengadaan langsung tersebut.

    BalasHapus
  20. SELAMAT SIAng pak, kami mereupakan satker baru berdiri. kemudian sepanjang pebruari kami memerlukan ATK dan ngebon ke sebuah toko hingga tagihan mencapai Rp55jt an, atas tagihan tersebut dibayar dengan mekanisme LS. apakah terhadap hal ini
    1. secara aturan bagaimana?
    2. apakah harus diadakan survey harga? (dasarnya apa)
    3.Apakah secara normatif sebelum pengadaan barang/jasa harus didahului dengan Nota dinas permintaan pengadaan?
    terima kasih

    BalasHapus
  21. Ketika serah terima barang apakah cukup dengan BA serah terima atau disertai Faktur (DO) dari penyedia barang untuk amannya?
    Pengadaan diatas menggunakan SPK PAK

    BalasHapus
  22. Pak Bagus Gunawan, Dalam UU 1/2004 ttg Perbendaharaan dalam pasal 17 disebutkan utk keperluan pelaksanaan kegiatan dalam DIPA/DPA, PA/KPA berwenang mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan.

    Dalam pelaksanaan APBN, pd PMK 190/2012 pasal 29 disebutkan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran dalam DIPA yang mengakibatkan pengeluaran negara, dilakukan melalui pembuatan komitmen. pembuatan komitmen tersebut dapat berupa perjanjian/kontrak utk pengadaan barang/jasa.

    pasal 55 Perpres 70/2012, bukt perjanjian terdiri atas : a. bukti pembelian (s.d Rp 10juta), b. kuitansi (s.d 50 juta), c. SPK (s.d 200juta utk barang/Jasal lainnya/konstruksi, s.d Rp 50 juta utk konsultansi), dan d. Surat Perjanjian (diatas Rp 200 juta utk barang/Jasal lainnya/konstruksi, diatas Rp 50 juta utk konsultansi).

    Bila terjadi transaksi dengan nilai Rp diatas Rp 50 juta maka melalui proses pengadaan langsung menggunakan SPK dengan meminta penyedia melakukan penawaran terlebih dahulu.

    Sebelum dilakukan kegiatan tersebut, PPK mempunyai tugas menyusun Spek teknis ATK dan HPS. pasal 66 (1) perpres 70, PPK berkewajiban menyusun HPS untuk pengadaan dengan nilai diatas Rp 10 juta. Dalam ayat (7)-nya disebutkan penyusunan HPS berdasarkan harga pasar setempat. Dengan demikian survey harga wajib dilakukan oleh PPK, utk kasus bapak.

    Kalau melihat organisasi pengadaan hanya terdiri PA/KPA, PPK, Pokja ULP/Panitia pengadaan/Pejabat pengadaan, dan PPHP. Pelaksanaan pengadaan berawal dari penyusunan RUP yang merupakan kewajiban PA/KPA yang salah satu itemnya wajib dilakukan identifikasi kebutuhan.

    Dalam organisasi di satker biasanya ada bagian umum/rumah tangga, kebutuhan ATK dari masing2 seksi, dirangkum oleh bagian tersebut. bagian umum dapat mencerminkan pendelegasian PA/KPA utk menyusun identifikasi kebutuhan. Dari kebutuhan yang ada, maka diserahkan kepada PPK. Selanjutnya PPK membuat Rencana Pelaksanaan Pengadaan (RPP) yang terdiri dari : spek teknis, HPS, dan draft kontrak. Kemudian PPK menyerahkan RPP kepada Pokja ULP/Panitia pengadaan/pejabat pengadaan utk melakukan pemilihan penyedia barang/jasa.

    Tentunya kesemuanya dalam rangka tertib administrasi dan menjaga akuntabilitas harus ada dokumen yang dibuat utk menunjukkan proses itu terjadi. Jadi bisa saja di tempat bapak, PA/KPA melalui Bagian umum menyerahkan kebutuhan ATK kepada PPK utk dilakukan proses pengadaan selanjutnya PPK meminta kepada pejabat pengadaan utk memilih penyedia (tentunya disertai dokumen administrasi), seperti nota dinas atau sejenisnya.

    BalasHapus
  23. Utk Pembayaran pengadaan dengan nilai Rp 55 juta, maka menggunakan mekanisme pembayaran LS. Untuk persyaratan pembayaran mekanisme LS dalam pelaksanaan APBN, dalam PMK 190/2012 pasal 40 pembayaran tagihan harus disertai : SPK/kontrak, Berita acara serah terima barang, berita acara pembayaran, kuitansi, faktur pajak dan SSP.

    Penyedia yang berhak menerbitkan faktur adalah penyedia PKP (pengusaha kena pajak). apabila penyedia tersebut bukan penyedia PKP maka tidak berhak menerbitkan faktur pajak.

    BalasHapus
  24. Pagi pak hadi, di SKPD kami ada kegiatan pemeliharaan kendaraan operasional nilainya 150jt dalam satu rekening kegiatan. Pertanyaan saya untuk proses pengadaannnya apakah boleh di pecah- pecah nilainya menjadi di bawah 50 perkendaraan ( LS bendahar) atau harus melalui proses pengadaan langsung? Apa dasar hukumnya pak? Terima kasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Assalamu alaikum wr.wb
      Selamat Pagi Pak Haris Nurdin

      Kegiatan pemeliharaan kendaraan operasional dengan nilai Rp 150juta dalam DPA SKPD bapak, merupakan pengadaan langsung (perpres 54/2010 beserta perubahaannya). Dalam perka 14/2012 tentang juknis Perpres 70/2012 disebutkan pengadaan langsung untuk jasa lainnya dan pengadaan barang dibedakan menjadi 2; 1. pembelian/pembayaran langsung kepada penyedia --> bukti pembelian/kuitansi, 2. permintaan penawaran --> menggunakan SPK.

      Pemecahan paket pada kegiatan bapak dengan nilai Rp 150 juta dapat diperkenankan namun dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitasnya.

      Pengadaan langsung berbeda dengan mekanis pembayaran (UP & LS) yang bapak tanyakan, jadi tidak bisa disandingkan. Mekanisme pembayaran dalam pelaksanaan APBD, bapak bisa berpedoman pada PP 58/2005, permendagri 13/2006 beserta perubahannya, dimana mekanisme pembayaran terdiri dari 2 : mekanisme UP dan mekanisme LS. Dalam pelaksanaan APBN, kasus yang bapak tanyakan tidak bisa dibayarkan mnggunakan mekanisme LS bendahara, karena pembayaran LS bendahara dgunakan untuk pembayaran belanja pegawai non gaji dan belanja barang/jasa terkait honor dan perjaldinnya. Untuk pelaksanaan APBD silahkan berkoordinasi dengan DPAKD setempat dengan mengacu pada ketentuan yang saya sebutkan diatas.

      Demikian Pak, semoga bermanfaat

      Wassalamu alaikum wr.wb
      Selamat pagi

      Hapus
  25. Pak Hadi yang kami hormati,
    kami punya toko yg kebetuilan konsumen kami adalah intsansi pemerintah, kami sdh punya NPWP tapi belum PKP..apakah untuk pemungutan PPN bisa dilakukan oleh Bendahara Instansi tsb ?
    Trims

    BalasHapus
  26. Bapak Hadi yg saya hormati, Mohon pencerahan di instansi kami ada belanja pemeliharaan kendaraan senilai 5 juta rupiah dalam pengajuan SPJ dimintakan NOTA PESANAN Apakah harus ada atau cukup Nota pembelian aja?

    BalasHapus
  27. Yth pak hadi.. Saya mau tanya, dalam pengadaan senilai 10 juta, rekanan penyedia tidak memiliki npwp. Bagaimana cara kita bayar pajak??

    BalasHapus

Ą