Ads 468x60px

Jumat, 13 September 2013

Pengelolaan Kas pada Bendahara


Pernah saya baca berita kejadian di koran maupun internet, “Uang sejumlah Rp 251 juta
yang disimpan di tujuh brandkas pada Kanto BKKBN Riau raib digondol maling”. Berita lain di jatim, uang Rp 100 juta pada brandkas bendahara kantor inspektort jatim dibobol maling. Baru-baru ini KPK menyita uang 200 ribu dolar AS yang katanya uang operasional ESDM di ruang sekjen ESDM. Apa hubungan antara “operasional”, “bendahara”, dan “brandkas” ?
Dalam pengelolaan uang APBN, dalam DIPA satker biasanya dapat kita kelompokkan menjadi 2, biaya modal (belanja modal) dan biaya operasional (belanja barang). Pelaksanaan belanja/pertanggungjawaban dapat menggunakan mekanisme pembayaran langsung (LS) atau mekanisme Uang Persediaan (UP). Uang persediaan dapat diberikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas K/L/Satker yang dikelola oleh bendahara pengeluaran. UP tersebut digunakan untuk keperluan membiayai kegiatan operasional sehari-hari satker dan membiayai pengeluaran yang tidak dapat dilakukan melalui mekanisme pembayaran LS.
Dalam melaksanakan tugasnya, bendahara dapat menggunakan rekening atas nama jabatannya sesuai dengan ketentuan dan tidak diperkenankan menyimpan uang atas nama pribadi pada bank/pos. Dan untuk kelancaran pembayaran bagi keperluan operasional perkantoran, biasanya bendahara selalu menyimpan uang dengan jumlah tertentu pada brandkas.
Selain uang UP, bendahara juga dapat mengelola uang lainnya yang dalam penguasaannya, meliputi :
  • Uang yang berasal dari kas negara, melalui SPM-LS yang ditujukan kepadanya; 
  • Uang yang berasal dari potongan atas pembayaran yang dilakukannya sehubungan dengan fungsi bendahara selaku wajib pungut; 
  • Uang dari sumber lainnya yang menjadi hak negara, seperti pengembalian belanja karena sesuatu hal.
Uang tersebut diatas tidak dapat digunakan untuk keperluan apapun dengan alasan apapun. Disamping itu, Bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.

Saldo Kas pada Brandkas Bendahara
Sejak adanya UU Paket Keuangan tahun 2003-2004, pengaturan jumlah maksimal saldo kas tunai pada bendahara (brandkas) sebesar Rp 10 juta, dengan sendirinya menjadi tidak berlaku. Baru tahun 2012 dengan terbitnya PMK 190/PMK.05/2012 tentang TC Pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN, dalam pasal 43 (4) disebutkan :  Pada setiap akhir hari kerja, uang tunai yang berasal dari UP yang ada pada Kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling banyak sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Ketentuan ini hanya mengatur bahwa sisa pembayaran untuk operasional pada kas tunai bendahara (brandkas) setiap akhir hari kerja maksimal Rp 50 juta yang berasal dari UP. Dengan demikian bila ada uang selain UP seperti dijelaskan diatas yang dikuasai oleh bendahara, sah-sah saja disimpan di brandkas. Sehingga saldo dalam brandkas yang dipegang bendahara mungkin saja lebih dari Rp 50 juta pada setiap akhir hari kerja.
Apakah ini suatu kelonggaran atau keteledoran yang diberikan oleh perumus ketentuan tersebut?
Untuk menjaga kehati-hatian, ada baiknya sebagai bendahara, membatasi jumlah uang tunai pada brandkas dalam jumlah yang cukup. Menyimpan uang dalam jumlah besar pada brandkas berpotensi dicuri/dibobol pihak-pihak tertentu. Beberapa keuntungan akan diperoleh bila bendahara lebih memilih untuk menyimpan uang dalam rekening dibandingkan tunai pada brandkas, yaitu :
  1. Akan lebih aman uang tersebut disimpan di rekening bendahara pada bank. Kehilangan uang pada brandkas akibat kelalaian atau ulah orang lain tetap saja menjadi tanggungjawab bendahara. 
  2. Dengan adanya sistem Treasury Notional Pooling (TNP) dimana saldo yang mengendap pada rekening bendahara yang disimpan pada bank-bank pemerintah, maka pemerintah akan mendapatkan renumerasi dari bank umum tersebut. Sedangkan rekening bendahara yang tidak termasuk dalam TNP akan mendapatkan jasa giro yang merupakan hak negara dan harus disetorkan ke Kas Negara.

Artikel Terkait

1 komentar:

Ą